12 Suku Bangsa di Sumatera Utara dan Wilayah Persebarannya

Sumatera Utara adalah provinsi multietnis. Penduduk pribumi asli Sumatera Utara terdiri atas berbagai suku bangsa, yaitu suku bangsa Melayu, Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak Dairi, Pesisir, Mandailing, dan Nias.

Provinsi ini sejak zaman Hindia Belanda merupakan daerah perkebunan tembakau. Oleh karena itu, provinsi ini merupakan tujuan bagi pendatang luar untuk mencari pekerjaan. Pendatang-pendatang tersebut terutama berasal dari Pulau Jawa yang datang karena kontrak kuli dengan pemerintah Hindia Belanda. Ada pula pendatang dari Tionghoa yang datang merantau mengadu nasib untuk kemudian menetap di daerah ini.

Suku Bangsa di Sumatera Utara

Penyebaran suku-suku bangsa di Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut.
1. Suku Melayu : Pesisir Timur terdiri atas Melayu Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Panai, dan Bilah
2. Suku Karo : Medan, Dataran Tinggi Karo, Binjai, Langkat, dan Deli Serdang
3. Suku Batak Toba : Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir dan sekitarnya
4. Suku Simalungun : daerah Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai
4. Suku Pakpak : daerah Dairi dan Pakpak Bharat
6. Suku Batak Mandailing : Madina
7. Suku Angkola : Tapanuli Selatan
8. Suku Pesisir Barat : Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, dan Mandailing Natal
9. Suku Nias : Kepulauan Nias
10.Suku Jawa-Deli : pesisir timur dan wilayah Perkebunan Sawit/Karet
11. Suku Tionghoa : perkotaan di pesisir timur

Suku Batak Sumatera Utara

Suku Batak banyak bermukim di Sumatera Utara dan terkenal dengan etos kerjanya yang kuat. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Akan tetapi, ada pula yang menganut kepercayaan animisme atau disebut Parmalim.

Orang Batak menganut sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan secara patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan dari ayah. Orang-orang yang berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga). Dalam masyarakat Karo garis keturunan dari ayah dinamakan sada bapa (satu keluarga), sedangkan dalam masyarakat Simalungun disebut sepanganan (satu keluarga). Semula mereka hidup dalam perkauman yang terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan yang merunut garis keturunan dari ayah dan mendiami satu kesatuan Wilayah permukiman yang dikenal dengan huta atau Iumban. Biasanya kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek yang menjadi cikal bakal dan pendiri permukiman sehingga juga disebut saompu. Kelompok-kelompok kerabat luas terbatas saompu yang mempunyai hubungan seketurunan dengan nenek moyang baik yang nyata maupun yang fiktif membentuk kesatuan kerabat yang dikenal dengan nama marga. Hubungan sosial dengan sesama marga diatur melalui hubungan perkawinan, terutama antara marga pemberi pengantin wanita (boru) dengan marga penerima pengantin wanita (hulu-hula).

Suku Batak terdiri atas beberapa subsuku. Mereka berdiam di Wilayah Sumatera Utara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tenggara. Subsuku Batak adalah suku Alas, suku Kluet, Suku Karo, suku Toba, suku Pakpak, suku Dairi, suku Simalungun, suku Angkola, dan suku Mandailing.
Macam-macam Sub Suku Batak Sumatera Utara tersebut antara lain yaitu:

1. Suku Batak Toba
Subsuku Batak Toba berdiam di daerah sekitar Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Silindung, sekitar Barus dan Sibolga sampai ke daerah Pegunungan Bukit Barisan, antara Pahae dan Habinsaran di Provinsi Sumatera Utara. Wilayah ini sekarang termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Utara. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Subsuku Batak Toba ini mengembangkan variasi lokal kebudayaan dengan ciri-ciri yang mencolok di bidang arsitektur perumahan.

2. Suku Batak Angkola Mandailing
Orang Angkola atau dikenal juga sebagai orang Mandailing adalah salah satu subsuku bangsa Batak yang mendiami daerah Angkola, Padang Lawas, Batang Toru dan Sibolga, Mandailing, Ulu Pakatan, serta selatan Padang Lawas. Pada masa sekarang wilayah itu termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal.

Bertolak dari sudut pandang etnologis, orang Angkola sendiri mengakui sebagai bagian dari suku Batak dan sebagai orang Tapanuli Selatan. Suku Angkola Mandailing kebanyakan bermarga Siregar dan Harahap. Ada juga marga Huta Suhut, Siagian, dan Hasibuan.

3. Suku Batak Dairi Pakpak
Orang Dairi atau orang Pakpak biasanya dianggap sama saja oleh masyarakat luar. Akan tetapi, menurut pengakuan mereka sendiri masing-masing berbeda dalam kebudayaan. Subsuku Batak Pakpak terdiri atas lima sub-Pakpak yaitu, Pakpak Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan. Mereka bermukim di wilayah Kabupaten Dairi yang kemudian pada tahun 2004 dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

4. Suku Batak Simalungun
Saat ini subsuku Batak Simalungun mayoritas bermukim di wilayah Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar. Batak Simalungun secara garis besar dapat dikelompokkan dalam empat marga besar, yaitu Damanik, Purba, Saragih, dan Sinaga. Sementara itu, marga lain yang mengaku suku Simalungun adalah marga-marga yang sudah mempunyai tanah, sudah mengaku sebagai suku Simalungun yang sudah lama tinggal di Simalungun atau karena perkawinan. Keempat marga besar tersebut memiliki cerita tentang asal mula marga mereka. Marga Damanik pada umumnya mengatakan mereka berasal dari Simalungun, hanya sebagian kecil yang mengaku berasal dari Tapanuli, marga Sinaga dan Saragih. Sementara itu, marga Purba yang dewasa ini disebut marga Purba Bawang mengatakan bahwa mereka dari Pagaruyung kemudian ke Natal-Barus, lalu masuk daerah Simalungun dan mendirikan Kerajaan Silau Bolag.

orang-Suku-Simalungun-sumatera-utara
Suku Simalungun
5. Suku Batak Karo
Karo merupakan salah satu subsuku bangsa Batak yang bermukim di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan Dairi. Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo disebut Karo Gunung sementara yang bermukim di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang disebut Karo Langkat.

Sebagian besar orang Karo masih tinggal di desa-desa (kuta), yang juga merupakan kesatuan teritorial yang dihuni oleh beberapa marga yang berbeda. Dalam sebuah kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Sebuah rumah adat biasanya dihuni oleh empat sampai delapan keluarga batih (jabu), yang terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Jabu merupakan organisasi sosial dan ekonomi terpenting pada masyarakat Karo.

desa-lingga-di-tanah-karo-sumatera-utara
Desa Lingga di Tanah Karo
Dalam hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan yang terkecil disebut jabu, sedangkan kelompok kekerabatan yang terbesar adalah merga. Orang Karo mengenal lima merga besar, yaitu Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Hubungan di antara kelompok-kelompok kekerabatan didasarkan atas suatu prinsip yang disebut sangkep sitelu (tiga yang utuh). Prinsip ini menyangkut tiga kelompok kerabat, yaitu kelompok kerabat sendiri (senina), kelompok pemberi gadis (Kalimbubu), dan kelompok penerima gadis (Anak beru).

Suku Nias Sumatera Utara

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Nias yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Nias. Penduduk asli pulau ini menamakan diri mereka Ono Niha, dan menyebut pulau mereka Tano Niha. Suku ini adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut ”fondrako” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Suku Nias terdiri atas ratusan marga yang masing-masing merupakan keturunan dari sembilan orang Putra Raja Sirao.

Suku Nias juga mengenal sistem kasta. Tingkatan kasta yang tertinggi adalah ”Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Berdasarkan lingkungan permukimannya, orang Nias dapat dibedakan antara mereka yang berdiam di pesisir dan yang tinggal di daerah pedalaman. Oleh karena itu, kegiatan sehari-hari kedua golongan ini tidak sama. Demikian pula ada perbedaan antara orang Nias yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan tersebut antara lain tercermin dalam kehidupan ekonomi. Orang Nias kota sudah memiliki bermacam-macam mata pencaharian, seperti berdagang, pegawai kantor, dan guru. Sebaliknya, orang Nias di pedalaman masih mengandalkan hidup sebagai petani ladang.

Bahasa Nias merupakan bahasa asli dari penduduk pribumi Kepulauan Nias. Dalam pemakaian bahasa di wilayah utara dan selatan memiliki perbedaan pada dialek, intonasi, serta istilah lokal yang dipergunakan.

Orang Nias hidup berkelompok dalam kampung yang mereka sebut banuadan. Mereka dipimpin oleh seorang siulu (bangsawan) yang mereka sebut tuhenori atau salawa (raja). Kesatuan sosial yang terkecil adalah sangambato atau keluarga batih yang terdiri atas ayah, ibu, serta anak-anak yang belum menikah.

Suku Melayu Sumatera Utara

Pada umumnya, masyarakat Melayu terbagi atas golongan yaitu asal bangsawan (aristokrasi) dan golongan ”rakyat jelata”. Golongan aristokrasi yang paling atas memerintah ialah raja dan anak-anak raja (Tengku). Lapisan di bawahnya ialah turunan pembesar daerah (Wan, orang kaya, Datuk Muda), golongan rakyat biasa turunan pembesar di kampung, golongan ulama, cerdik pandai, dan sebagainya. Struktur aristokrasi Melayu berasal dari zaman Hindu dan diperkaya dari masa Kerajaan Melayu Malaka abad XVI dengan berbagai nilai gelar, susunan pangkat, tata tertib, seremoni (istiadat) di dalam Kerajaan Melayu yang kecil-kecil. Raja/sultan adalah lambang persatuan dan kebesaran negeri. Ia dianggap sumber segala gelaran di dalam negeri. Pembesar di daerah memperoleh kewibawaan dari raja. Letak kedaulatan pada raja.

Melayu atau Melayu Deli mendiami daerah sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera (Kota Medan, Binjai, Tebingtinggi, dan Tanjung Balai) serta di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Asahan, dan Labuhan Batu. Pada zaman dahulu mereka pernah mendirikan beberapa kerajaan, seperti Melayu Langkat, Melayu Aru, Melayu Deli Tua, dan Melayu Deli yang lenyap sekitar setengah abad yang lalu.

Karena di daerahnya dibuka banyak perkebunan besar, orang Melayu kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun atau mengolah sendiri ladang mereka dengan cara-cara sederhana. Keluarga intinya lebih senang mengembangkan rumah tangga sendiri. Walaupun pasangan baru umumnya tinggal di rumah orang tua pihak perempuan, mereka segera pindah begitu mempunyai seorang anak. Rumah baru biasanya didirikan dekat kelompok pihak suami, mungkin karena ada anggapan bahwa garis keturunan yang mereka pakai adalah patrilineal. Hanya orang Melayu yang diam di daerah Batubara yang cenderung menjalankan prinsip keturunan matrilineal, mungkin karena kuatnya pengaruh Minangkabau di zaman dulu.

Baca juga:
Pakaian Adat Sumatera Utara Lengkap, Gambar dan Penjelasannya
Rumah Adat Sumatera Utara Lengkap, Gambar dan Penjelasannya
Bahasa Daerah Sumatera Utara Lengkap Penjelasannya
Upacara Adat Masyarakat Sumatera Utara Lengkap Penjelasannya