Jenis-Jenis Wayang di Indonesia dan Penjelasannya

Wayang merupakan salah satu jenis teater klasik yang masih banyak penggemarnya. Kesenian wayang merupakan suatu pertunjukan yang masih berpedoman pada aturan-aturan asli dan belum banyak inovasi. Di Indonesia istilah wayang dapat dijumpai di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Terdapat beberapa jenis wayang dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia, seperti wayang kulit, wayang wong, dan wayang krucil, wayang beber di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sedangkan masyarakat Jawa Barat mengenal kesenian wayang golek.

Untuk mengenal lebih jauh tentang jenis-jenis wayang yang terdapat di Indonesia simaklah ulasan kami berikut ini.

Jenis-Jenis Wayang di Indonesia

1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Bangsa Indonesia. Wayang kulit ini lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur. Namun, beberapa daerah seperti Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, dan Bali juga memiliki jenis kesenian wayang kulit. Wayang kulit ini dimainkan oleh seorang dalang yang juga manjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang sambil diiringi oleh musik gamelan sekaligus dinyanyikan oleh pesinden. Dalang memegang peranan yang Penting. Ia memainkan wayang di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih dan di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak.

Dalam satu set wayang ada beberapa ratus watak, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Yang baik selalu dimainkan di sebelah kanan dalang, dan yang jahat dimainkan di sebelah kiri dalang. Boneka wayang yang tidak dipakai dipasang di sebuah batang pohon pisang yang ada di depan Ki dalang. Di antara watak wayang yang terkenal adalah lima saudara Pandawa; nama mereka Yudisthira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mereka tokoh cerita Mahabharata yang menceritakan perang saudara.

jenis-wayang-kulit

Selain itu, alat musik yang paling penting dalam gamelan wayang adalah alat pukul yang namanya gender. Musik yang dimainkan berubah mengikuti cerita. Ki Dalang menggunakan pemukul kayu (cempala) dan kotak kayu besar, yang biasanya dipakai untuk menyimpan semua wayang, dan untuk meberitahu kepada pemain gamelan, musik macam apa yang harus dimainkan.

Wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian wayang yang telah diakui sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga. Pembahasan lengkapnya silahkan klik Sejarah Wayang Kulit: Asal Usul dan Sumber Ceritanya

2. Wayang Wong
Selain wayang kulit terdapat juga wayang orang atau yang disebut juga dengan istilah wayang wong (Jawa). Sesuai dengan nama dan sebutannya, jenis kesenian wayang ini tidak lagi diperankan dengan boneka kulit, tetapi langsung dimainkan oleh manusia sebagai tokoh yang memerankan pertunjukan wayang, sebagaimana manusia berperan sebagai pengganti boneka-boneka wayangnya.

jenis-wayang-wong

Kesenian wayang wong atau wayang orang ini juga memakai pakaian yang sama, seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Bentuk mukanya juga dibuat sama sebagaimana bentuk muka dan hiasan wajah pada tokoh wayang kulit dengan cara digambar atau dilukis. Selain itu, pertunjukan wayang wong ini juga diiringi oleh musik gamelan pelog dan slendro serta sinden. Pembahasan lengkapnya silahkan klik Wayang Wong (Teater Klasik Jawa)

3. Wayang Krucil
Wayang krucil berarti wayang kecil bahkan ada yang menyebutnya wayang klitik. Hal ini sesuai dengan perkataan bahwa wayang krucil terbuat dari bahan kayu yang pipih dengan ukuran rata-rata relatif kecil, bahkan muncul suara klitik-klitik sehingga dinamakan wayang klitik.

Dalam perkembangannya jenis wayang krucil dapat dibedakan menjadi dua, yakni wayang krucil yang berkembang dengan bentuk aslinya dan wayang krucil yang mendapat pengaruh dari pergelaran wayang kulit purwa. Wayang krucil mempunyai bentuk dan bahan yang khusus. Bentuknya menyerupai wayang kulit, yakni terdiri dari dua demensi, bahannya terbuat dari kayu. Wayang klitik tidak mengenakan cempurit seperti pada wayang purwa, sebab cempuritnya sekaligus merupakan lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, yang berbentuk kayu pipih, tidak bulat seperti wayang golek.

Beberapa pakar budaya ada yang menyatakan bahwa pencipta wayang krucil adalah Raden Pekik dari Surabaya tahun 1684 atau 1571 tahun Saka. Hal ini dapat dibaca pada sengkalan ”Watu tunggangane buta widadari“ (Haryanta. 1988: 64). Wayang krucil mempunyai ciri-ciri sesuai dengan gayanya, yakni: gaya Yogyakana, gaya Surakarta, dan Gaya Mangkunegaran. Bentuk wayang krucil Yogyakarta pahatan kakinya kurang artistik mengarah bentuk primitif, gaya Surakarta dan Mangkunegaran wayang krucil tampak artistik dan mengarah pada sifat kehalusan dan ketenangan.

Ciri-ciri wayang Krucil Pertunjukan wayang krucil dapat mengekspresikan nilai budaya masyarakat setempat dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a. Spontanitas, maksudnya gerak-gerik wayang dan gerak-gerik dalang waktu memainkan tokoh wayang, serta saat menyanyikan suluk dilakukan secara spontan sesuai dengan situasi adegan.
b. Sederhana, maksudnya penggunaan bahasa, perlengkapan pentas, dan gerak-gerik wayang dilakukan secara sederhana.
c. Kekeluargaan, maksudnya hubungan yang akrab dan penuh kekeluargaan antara dalang, pangrawit, dan penonton. Kedekatan ini bisa dilihat pada sorak-sorai dari pengrawit dan penonton untuk memberi semangat dan dorongan kepada dalang agar lebih hidup permainannya. Juga kata-kata sebagai umpan balik dari pengrawit dan penonton dalam menanggapi dagelan yang disajikan oleh dalang dalam pertunjukannya.
d. Humoris, maksudnya pertunjukan wayang krucil leluconnya tidak hanya pada waktu adegan ’gara-gara’, namun juga dalam gerak-gerik yang lucu dari tokoh-tokoh tertentu.

jenis-wayang-krucil

Sumber Cerita Wayang Krucil
Jenis kesenian wayang yang satu ini sumber ceritanya adalah cerita Damarwulan, hikayat Amir Hamzah atau Serat Menak yang merupakan syiar agama Islam. Perkembangan selanjutnya sumber cerita wayang krucil adalah berupa sejarah dan babad, misalnya tentang Pahlawan Diponegoro, Arya Jipang, Untung Surapati, Pemberontakan Ranggalawe, Babad Pati, Babad Demak, Babad Panaraga, Babad Tanah Jawa. Sumber cerita yang lain adalah cerita rakyat, antara lain: Bandung Bandawasa, Prabu Angling Darma, Rara Mendut Prana Citra. Sumber yang lain seperti Imam Sejati-Sejatining Rasa, Bujangganong, Panji Asmara Bangun, Pani Jaka Lelana, Bedhahe Gunung Jabalkat, dan Umar Sejati.

Perkembangan wayang krucil dibedakan menjadi dua sebagai berikut.
a. Perkembangan sesuai dengan bentuk aslinya
Perkembangan wayang ini meliputi unit-unit wayang kecil yang biasanya dipertunjukan untuk melayani adat melepas nazar. Pada pertunjukan semacam ini struktur lakon tetap, sesaji, gamelan, dalang, dan pangrawit tetap ada tanpa waranggana. Pergelaran wayang krucil yang sesuai dengan bentuk aslinya dapat dilihat dari ciri-cirinya:
  1. Pementasan tanpa waranggana.
  2. Gamelan sangat sederhana, yakni: kendang ciblon, saron, barung, gambang, kethuk, dan kempul.
  3. Ada beberapa gending yang sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat sekarang, seperti gending mongkog, playon, pacarcina. Kini yang dikenal hanya gending krucilan.
  4. Gunungan terbuat dari seikat bulu merak.
  5. Dalang bersifat lebih bergairah, ada unsur kerja sama antara dalang, pengrawit, dan penonton.
  6. Bahasa dan sastranya lebih bersifat sederhana sehingga mudah dipahami.
  7. Kelir terbuka bagian tengahnya, pada kelir dipasang beberapa hiasan seperti mote, rumbai-rumbai, renda sehingga tampak gemerlap saat disinari lampu.
  8. Tanpa pengeras suara.
  9. Bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Jawa Krama baik krama inggil maupun krama kasar, Jawa Ngoko, dan bahasa Kawi.
b. Perkembangan dengan mendapatkan pengaruh terutama pengaruh dari wayang kulit
Perkembangan jenis kedua ini menekankan fungsi wayang krucil sebagai sarana hiburan, meliputi struktur lakon mengikuti perkembangan zaman, pertunjukan tidak sakral, ada sesaji, gamelan, dalang, pangrawit, dan ada waranggana, gending-gendingnya pun ditambah dengan gending yang lebih segar.

Pengaruh seni pedalangan wayang kulit terhadap wayang krucil tidak hanya penggunaan bahasa dan sastra, melainkan juga pada instrumen gamelan, gending, waranggana, sabetan, suluk, janturan, anta wacana, dan tembang. Dari segi bahasa wayang krucil terpengaruh wayang kulit bisa dilihat dengan penggunaan bahasa yang lebih halus dalam unggah-ungguh, banyak menggunakan kata-kata kawi. Dari segi gamelan wayang krucil terbaru menggunakan instrumen gamelan yang lebih beragam.

4. Wayang Beber
Wayang beber merupakan jenis pertunjukan wayang dengan cara membentangkan kain yang panjang. Kata beber dalam bahasa Jawa berarti mbeber atau menggelar, maksudnya menggelar gambar baik dari kain maupun kertas tebal yang menceritakan tentang adegan-adegan cerita wayang kulit. Gambar-gambar pada wayang beber dilukis pada gulungan-gulungan horizontal panjang. Dalang akan menggelar gulungan-gulungan tersebut adegan demi adegan.

jenis-wayang-beber

Cerita atau gambar berupa gulungan-gulungan wayang yang terbuat dan kertas tebal yang digambari tokoh-tokoh wayang. Pengiring gamelan pada pertunjukan wayang beber tidak sebanyak wayang kulit, begitu pula gamelannya pun tak selengkap pertunjukan wayang kulit. Untuk saat ini dalang yang melakonkan wayang beber tinggal sedikit. Karena pertunjukan wayang beber sendiri semakin lama semakin sedikit penggemarnya.

5. Wayang Golek
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan "bayang", karena pertunjukan wayang kulit yang memakai layar menimbulkan bayangan. Di Jawa Barat, ada wayang yang menggunakan boneka (dari kulit disebut “wayang kulit”, dan dari kayu, disebut “wayang golek") dan ada wayang yang dimainkan oleh manusia (wayang orang/wong). Dua macam wayang golek yang ada di daerah Sunda: wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa. Semua wayang, kecuali wayang wong, dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan, mengatur lagu, dan lain-lain.

Wayang golek memiliki lakon-lakon galur dan carangan, yang bersumber dari cerita besar Ramayana dan Mahabarata. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sunda dan diiringi gamelan Sunda (berlaraskan salendro), yang terdiri dari dua saron, satu peking, satu selenthem, satu boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah seperangkat kendang (satu kendang indung dan tiga kulanter), gambang dan rebab.

Sejak tahun 1920-an, sepanjang pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Pada masa-masa itu, popularitas sinden sangat tinggi mengalahkan popularitas dalang wayang goleknya, terutama pada masa Upit Sarimanah dan Titim Patimah, yaitu sekitar tahun 1960-an. Lakon yang biasa dipertunjukkan dalam pertunjukan wayang golek adalah lakon carangan. Lakon galur kadang-kadang saja dipertunjukkan.

Dipertunjukkannya lakon carangan ini seakan-akan menjadi tolok ukur kepandaian dalang, apakah ia mampu menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik atau tidak. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal antara lain Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi, dan lain-lain.

Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut;
1) tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara;
2) babak unjal, paseban, dan bebegalan;
3) nagara sejen;
4) patepah;
5) perang gagal;
6) panakawan/goro-goro;
7) perang kembang;
8) perang raket; dan
9) tutug.

Salah satu fungsi wayang golek dalam masyarakat adalah untuk ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Orang atau anak yang diruwat (sukerta) antara lain:
1) wunggal (anak tunggal);
2) nanggung bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia);
3) suramba (empat orang putera);
4) surambi (empat orang puteri);
5) pandawa (lima putera);
6) pandawi (lima puteri);
7) talaga tanggal kausak (seorang putera diapit dua puteri);
8) samudra hapit sindang (seorang puteri diapit dua orang putera), dan sebagainya.

jenis-wayang-golek

Wayang golek sebagai seni pertunjukan rakyat memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik spiritual maupun material. Ini dapat kita saksikan dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) khitanan, pernikahan, dan lain-lain, sering diiringi pertunjukan wayang golek. Secara spiritual, masyarakat mengadakan ruwatan untuk menolak bala, secara komunal maupun individual, dengan cara menyelenggarakan pertunjukan wayang golek.

Baca juga :
Tokoh Wayang Kulit, Menurut Golongannya Secara Lengkap
Unsur-Unsur yang Berperan Dalam Pertunjukan Wayang Kulit
Ciri-Ciri Teater Tradisional dan Jenis-Jenis Teater Tradisional Nusantara