Upacara Adat Daerah Maluku Utara Lengkap Penjelasannya

Upacara adat atau upacara tradisional adalah upacara yang diselenggarakan menurut adat istiadat yang berlaku di daerah setempat. Upacara tradisional Maluku Utara tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Maluku Utara. Upacara adat ini dibedakan menjadi dua, yaitu upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup (misalnya perkawinan, kematian, dan sebagainya) serta upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan lingkungan. 

Bentuk Upacara Perkawinan Adat Ternate

Perkawinan Adat merupakan salah satu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu. Tata cara pelaksanaan mulai dari seremonial sampai dengan ritual diatur menurut hukum adat setempat. Perkawinan Adat di Ternate di antaranya sebagai berikut. 

Lahi se Tafo atau Waso Lahi (Meminang/Kawin Minta) 
Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat pepuler dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat. Hal ini karena selain berlaku dengan cara terhormat juga karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan dianggap paling sah menurut Hukum Adat. Dalam hal ini yang dimaksud cara terhormat adalah dilakukan dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang. Pelaksanaan rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara adat makan adat, saro-saro, dan joko kaha, serta acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, status sosial dalam masyarakat dapat terangkat. 

Wosa Suba (Kawin Sembah)
Bentuk perkawinan wosa suba merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar (melunasi) denda yang disebut bobango. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang (wosa lahi) sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas kawin, ongkos perkawinan yang sangat mahal, dan sebagainya. 

Perkawinan bentuk wosa suba ini terdiri atas tiga cara, sebagai berikut. 
  1. Toma Dudu Wosa lno, artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan. 
  2. Toma Daha Wosa lno, artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan. 
  3. Toma Daha Supu Ino, artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada tedebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. 
Bentuk perkawinan ini sudah jarang dilakukan, karena masyarakat Ternate manganggap cara-cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki. 

Sicoho (Kawin Tangkap) 
Bentuk perkawinan ini hampir sama dengan cara ketiga dari bentuk wosa suba di atas, hanya saja kawin tangkap dapat terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat di luar batas norma susila. Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda wulaupun dalam keadaan tertangkap basah. Untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya, mereka terpaksa dikawinkan menurut hukum adat secara Islam yang berlaku pada masyarakat Ternate. Perkawinan ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis dan membayar denda (bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate. 

Kofu'u (Dijodohkan) 
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka. Bentuk perkawinan dijodohkan tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang ayahnya bersaudara dekat/ jauh atau ibunya bersaudara dekat/ jauh. Sebagian besar bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda zaman sekarang, sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk Masibiri atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat Ternate. 

Masibiri (Kawin Lari) 
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya kawin lari di antaranya orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin. Cara ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk kawin lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. 

Konsekuensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh calon pengantin. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam. 

Ngali Ngasu (Ganti Tiang) 
Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami istri yang istrinya atau suaminya meninggal dunia maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si istri atau kakak atau adik dari si suami. Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di Pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan zaman mengakibatkan bentuk perkawinan semacam ini sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate. 

Tradisi Bari

Prof. Wojowasito dan Poerwadarminta dalam kamus Iggris-Indonesia (1980) mendefinisikan kata “gotong royong” yakni bersama-sama merasa senasib sepenanggungan sekaligus merasa ada keterkaitan yang erat sehingga merasa terpanggil dalam melakukan suatu pekerjaan. Gotong royong dalam bahasa Ternate disebut Bari. Bari diartikan secara harfiah yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari pihak lain serta melibatkan banyak orang dan dilakukan bersama-sama tanpa mengharapkan upah atau gaji. 

Gotong royong yang dilakukan masyarakat Maluku Utara, khususnya di Ternate, adalah gotong royong yang didasarkan pada keikhlasan manusia membantu manusia lainnya. Ini merupakan penerapan dari falsafah ”Co’ou Kaha, Kie se Kolano", dengan suatu keyakinan bahwa pada hakikatnya menolong manusia dengan ikhlas sama halnya dengan menolong diri sendiri (hubungan antara manusia dan manusia). Dalam hal ini yang dimaksud dengan ”menolong diri sendiri", lebih mengarah pada pemahaman religius bahwa setiap perbuatan manusia pasti mendapat ganjaran dari Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Perbuatan baik pasti mendapatkan pahala. Begitu juga sebaliknya (hubungan antara Tuhan dan manusia) hanya kadar keihlasanlah yang menjadi perhitungan Tuhan dalam menilai setiap perbuatan hambanya. Jadi, bari dalam konsep budaya Ternate adalah suatu kegiatan kemanusiaan yang didasarkan pada keikhlasan sebagai pengakuan diri (co'ou) dengan tidak mengharapkan imbalan materi, sebagai wujud dari kesamaan asal (kaha) yang merupakan kehendak kekuasaan (kie) yang sudah ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. 

Tradisi Penangkapan Ikan Bubaro Ruo

Sahu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat. Sahu terletak tidak jauh dari Ternate. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Ibu, sebelah selatannya berbatasan dengan Jailolo, sebelah timur dengan Kao dan sebelah barat dengan Laut Maluku. Di Sahu terdapat berbagai macam potensi alam baik laut maupun darat. Di antaranya potensi pariwisata alam seperti Danau Rana (Telaga Rana), Air Terjun Goal, Pantai Disa, dan Pantai Muara Kali Ake Lamo. Ada satu potensi adat yang penerapannya mengandung banyak makna filosofis dan mistis, ada nilai persaudaraan dan solidaritas antarsesama manusia dan lekat dengan nuansa Bari. 

Nilai persaudaraan dan kekeluargaan terlihat pada saat pembagian hasil tangkapan ikan bubara ruo. Siapa pun boleh mengambil ikan hasil tangkapan tersebut secukupnya. Penerapan adat seseorang terlihat jelas pada acara tradisional penangkapan ikan bubara ruo. Unsur mistis (menziarahi Keramat Bubara Ruo) pada acara tersebut menandakan bahwa masyarakat di Kecamatan Sahu (dan Maluku Utara pada umumnya) sangat yakin akan keterikatan alam fisik dengan alam metafisik yang keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya.

Pelaksanaan prosesi adat ini terbagi atas tiga bagian. Prosesi mistik yaitu peserta penangkap ikan bubara ruo pergi berziarah ke keramat (jere) yang dikenal dengan Keramat Bubara Buo yang terletak di tempat tersebut. Kedua, prosesi penangkapan Ikan, dan ketiga, pembacaan doa syukur oleh Imam masjid.

gambar upacara adat hibualamo maluku utara

Upacara Adat Lainnya

Upacara adat Hibualamo dilakukan untuk acara yang bersifat adat seperti pengukuhan seorang pemimpin adat. Upacara adat dimulai dengan arak-arakan keliling kota yang berakhir di Hibualamo. Pada arak-arakan ini sang pemimpin akan duduk di atas kursi kebesaran yang ditandu oleh 4-8 orang. Beragam kebudayaan daerah akan ditampilkan pada acara yang berpusat di rumah adat Hibualamo.Upacara ini biasanya diakhiri dengan acara makan bersama.

Baca juga:
Pakaian Adat Maluku Utara Lengkap, Gambar dan Penjelasannya