Upacara Adat Kepulauan Riau Lengkap Penjelasannya
Upacara Adat Kepulauan Riau
Upacara adat atau upacara tradisional adalah upacara yang diselenggarakan menurut adat istiadat yang berlaku di daerah setempat. Upacara tradisional Kepulauan Riau tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kepulauan Riau. Upacara adat ini dibedakan menjadi dua, yaitu upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup (misalnya perkawinan, kematian, dsb.) serta upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan lingkungan.A. Upacara Adat Perkawinan (Masyarakat Lingga, Singkep, dan Senayang)
Melayu dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Namun demikian, Islam bagi orang Melayu bagaikan darah dagingnya. Melayu sering diidentikkan atau mengindentikkan ciri sebagai Islam. Terdapat ungkapan "Orang Melayu adalah orang yang beragama Islam, beradat istidat Melayu, dan berbahasa Melayu". Pada gilirannya budaya atau adat istiadat yang ditumbuh-kembangkan banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Salah satu di antaranya adalah adat upacara perkawinan.
Selain sebagai sebuah pranata sosial, perkawinan juga merupakan proses. Sebagai suatu proses, perkawinan harus dilakukan secara bertahap dan berurutan. Berikut ini adalah tahap-tahap pada upacara perkawinan.
1. Merisik
Merisik berasai dari kata "risik" yang berarti "menyelidiki". Pada tahap ini pihak keluarga laki-laki melakukan penyelidikan terhadap si gadis. Hal itu untuk menilai dan menentukan apakah gadis itu layak menjadi menantu atau tidak. Kegiatan ini dilakukan oleh seorang perempuan yang berumur separuh baya. Orang itu disebut sebagai tukang perisik. Tugasnya adalah mengamati secara diam-diam wajah dan tingkah laku si gadis. Untuk itu, tukang perisik harus datang bertamu ke rumahnya.
Merisik biasanya dilakukan pada siang hari (pukul 08.00-10.00 WIB) atau pada sore hari (pukul 15.00-17.00 WIB). Pada waktu-waktu tersebut biasanya si gadis sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk merisik adalah ruang makan, tengah rumah, beranda rumah, dan dapur. Kegiatan merisik ini dilakukan berulang-ulang sampai pengetahuan tentang tingkah laku si gadis dinilai sudah cukup. Kemudian, hasil penyelidikan itu dilaporkan kepada pihak keluarga laki-laki. Jika dari laporan itu ternyata layak, pihak keluarga laki-laki akan menyetujuinya. Artinya, si gadis pada saatnya akan dijadikan menantu. Jika tidak layak, niat untuk menjadikan si gadis sebagai menantu diurungkan.
2. Meminang
Pihak keluarga laki-laki mengirim rombongan peminangan yang biasanya berjumlah lima orang. Rombongan ini terdiri atas satu orang ketua (laki-laki) dan empat orang, anggota (dua orang laki-laki dan dua orang perempuan). Orang yang menjadi ketua rombongan peminangan adalah orang yang bijak dan santun dalam berbicara dan bisa berpantun atau berseloka. Jika dalam kerabatnya orang seperti itu tidak ada, dapat minta tolong kepada orang lain. Anggota yang berjumlah empat orang itu biasanya terdiri atas dua orang kerabat dan dua orang tetangga.
3. Mengantar Tande
Kegiatan ini dilakukan pada hari ke-4 atau ke-5 dari peminangan. Perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam kegiatan ini adalah (1) tepak sirih, 2) Bunga rampai, (3) cincin, dan (4) barang pengiring.
Tepak sirih berisi sebuah pinang yang telah dikupas kulitnya, kapur-sirih dan gambir, tembakau, daun sirih, dan kacip. Bunga rampai terdiri atas daun pandan, bunga melati, kemuning, dan kenanga. Bunga ini diletakkan pada ceper atau sanggan yang beralaskan kain renda dan bertutup kain renda pula atau kain-tekat.
Cincin yang dipersiapkan dalam antaran tande terbuat dari emas murni. Namun, bagi keluarga yang mampu biasanya cincin tersebut bermatakan berlian.Cincin ini diletakkan pada cembol. Dalam proses perkawinan, cincin merupakan barang yang sangat bermakna karena ia merupakan simbol pengikatan. Artinya, jika seorang gadis telah menggunakan cincin antaran dari seorang pemuda, gadis tersebut telah "ada yang punya" (telah diikat oleh seseorang).
Barang pengiring (barang-barang lain) yang diserahkan dalam acara mengantar tande, antara lain hiasan burung merak, hiasan bentuk masjid, buah-buahan, dan sebagainya. Jika yang akan dipinang mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka satu stel pakaian untuk kakak perempuan tersebut disertakan dalam barang pengiring. Maksudnya adalah sebagai penebus melangkah batang.
4. Berandam
Berandam adalah memotong atau mencukur rambut, baik calon pengantin laki-laki maupun perempuan.Untuk calon pengantin laki-laki biasanya yang dicukur adalah rambut yang tumbuh dikepala saja. Untuk calon pengantin perempuan meliputi rambut yang tumbuh tipis di tengkuk, pelipis, dan dahi. Pencukuran ini, khususnya untuk calon pengantin perempuan, biasanya dilakukan sehari sebelum adad nikah.
5. Akad Nikah
Akad nikah merupakan proses perkawinan yang paling utama. Dengan dilaksanakannya akad nikah, sepasang muda-mudi telah resmi menjadi suami-isteri. Tempatnya biasanya di depan pelaminan. Pada saat akad nikah berlangsung, Kahdi yang disaksikan oleh dua orang saksi meminta calon pengantin laki-laki untuk mengucapkan kalimat istighfar tiga kali, syahadat tiga kali, dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Kahdi juga meminta calon pengantin laki-laki mengucapkan lafadz ijab kabul. Jika pengucapan ijab kabul yang dilakukan oleh pengantin laki-laki itu benar, maka kedua orang saksi itulah yang mengesahkannya (maksudnya pengucapannya tidak perlu diulang).
6. Bertepuk Tepung Tawar
Setelah akad nikah, acara berikutnya adalah bertepuk tepung tawar. Dalam acara ini diperlukan perlengkapan, seperti daun gandarusa, rumput sambau, daun puding emas, dan akar ribu-ribu. Selain itu, juga diperlukan bahan-bahan yang akan dijadikan sebagai penyapu atau pencecah, seperti beras kunyit, beras basuh, bertih, air bedak berlimau, inai cecah, dan inai untuk tari. Tujuan pelaksanaan bertepuk tepung tawar ini adalah untuk menghilangkan sial-majal atau perasaan duka bagi yang ditepuk-tepung-tawari, sehingga hidupnya akan selamat dan sejahtera.
7. Berinai
Berinai berarti mengolesi kuku jari tangan dan kaki dengan inai. Acara ini dilakukan pada hari berikutnya (setelah acara bertepuk tepung tawar). Dalam hal ini kuku jari tangan dan kaki kedua mempelai diinai. Makna simbolik yang terkandung dalam penginaian ini adalah hidup baru. Artinya, dengan berinai, sepasang muda-mudi telah melangkahkan kakinya (memasuki) kehidupan berumah tangga.
8. Berarak dan Bersanding
Berarak adalah acara mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Acara ini diawali dengan pembacaan Shalawat Nabi Muhammad Saw sebanyak tiga kali oleh ketua rombongan yang dijawab oleh semua yang hadir. Posisi pengantin dalam perjalanan menuju rumah pengantin perempuan berada di belakang ketua rombongan. Ia diapit oleh dua orang (di sebelah kiri dan kanannya). Pengapit kanan memayungi pengantin, sementara pengapit kiri membawa tas kulit yang berisi peralatan/pakaian sehari-hari pengantin. Di belakang pengantin adalah barisan orang-orang yang membawa beras kunyit dan alat-alat musik (dua buah gendang panjang, satu buah gong, dan satu buah serunai). Di belakangnya lagi ada pemencak silat dan para wanita yang berpakaian adat Melayu (berkain batik, berbaju kurung, dan berselendang).
Setelah kedua pengantin duduk bersama di atas pelaminan, Mak Andam meraih tangan kanan pengantin laki-laki dan menaruh sekepal nasi kuning. Demikian juga, terhadap tangan kanan pengantin perempuan. Mak Andam mengangkat tangan kanan pengantin laki-laki yang telah memegang nasi kuning itu, lalu menyuapkannya ke mulut pengantin perempuan, dan sebaliknya.
Selesai acara suap-menyuap, Pak Imam atau Pak Lebai atau yang dituakan diminta untuk meletakkan dua buah pacasode. Pacasode adalah barang yang menyerupai tusuk konde yang terbuat dari perak kepada pengantin laki-laki dan perempuan. Satu buah disisipkan/diletakkan di sorban/songkok pengantin laki-laki dan satunya lagi disisipkan ke sanggul pengantin perempuan. Kemudian, Pak Imam atau Pak Lebai membacakan doa selamat dan tolak-bala.
9. Mandi-Mandi
Setelah bersanding, ada acara yang disebut mandi-mandi. Acara ini dibagi menjadi dua, yakni mandi pelanggi yang dikhususkan bagi kedua pengantin dan mandi bersiram-siram yang dilakukan oleh kaum kerabat kedua pengantin. Setelah acara mandi pelanggi selesai, acara dilanjutkan dengan mandi bersiram-siram yang dilakukan oleh kerabat dan handai taulan. Acara ini menjadi semakin meriah karena sisa airnya disiramkan kepada siapa saja yang ada di sekitarnya dan halaman rumah. Oleh karena itu, acara ini biasanya dilakukan di suatu tempat yang tidak mengganggu kegiatan dapur, membasahi ruang tengah rumah, serambi depan, dan tempat bersanding.
10. Berunut
Berunut berarti berkunjung ke rumah pihak keluarga pengantin laki-laki. Ini dilakukan paling lambat tiga hari setelah mandi pelanggi yang dipimpin oleh Mak Inang. Beliau inilah yang mengajak kedua pengantin dan beberapa kerabatnya untuk berkunjung ke pihak keluarga pengantin laki-laki. Tujuannya adalah silaturahmi sekaligus sembah-sujud kepada orang tua pengantin laki-laki dan kerabatnya. Pakaian yang dikenakan oleh pengantin perempuan pada kesempatan ini adalah kain batik sarung atau kain batik panjang, baju kurung, dan tudung lingkup. Pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki, yaitu baju kurung (satu stel), kain songket, dan kopiah.
11. Makan di Depan Pelaminan
Tahap akhir dari proses upacara perkawinan adalah makan di depan pelaminan. Makanan yang disediakan berupa nasih putih, sepiring gulai ayam, sepiring gulai ikan (dimasak asam pedas), sepiring telur (direndang), dan sepiring acar. Untuk pencuci mulut disediakan kue bolu, agar-agar bersantan, antakusume, dan pisang lemak manis atau pisang ambon. Seluruh hidangan itu ditempatkan pada wadah untuk makan bertiga (pahar besar). Pahar ditutup dengan tudung saji. Tudung ditutup dengan tudung hidang yang terbuat dari kain perca. Tudung hidang ini berbentuk persegi (sisi-sisinya kurang lebih 0,8 meter). Tudung diberi hiasan sulam benang emas dan manik-manik.
Pengantin laki-laki bersama dua orang temannya dilayani oleh Mak Inang. Pengantin perempuan hanya duduk di dapur menunggu piring kotor yang nanti akan diantar oleh Mak Inang. Selesai makan bersama, pengantin laki-laki menyelipkan sedikit uang (dalam amplop) ke bawah pahar. Uang itu adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Mak Inang yang telah menyediakan dan melayani makan.
B. Upacara Adat Basuh Lantai
Upacara “basuh lantai" ini dikenal oleh masyarakat di Pulau Lingga. Basuh artinya "mencuci atau membersihkan" dan lantai berarti "alas rumah atau lantai". Secara umum artinya membersihkan lantai. Upacara ini erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu (daur hidup) khususnya kelahiran. Mungkin yang dimaksudkan adalah membersihkan lantai dari percikan darah pada saat seseorang melahirkan. Akan tetapi, yang jelas masyarakat Lingga percaya bahwa lantai ada penghuninya (makhluk halus). Karena itu, jika lantai terkena darah perempuan yang sedang melahirkan, maka lantai itu harus "dibersihkan”. Upacara itu juga sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena proses kelahiran dapat berjalan lancar.
Upacara ini dilaksanakan ketika bayi telah berumur 44 hari. Sebelum berumur 44 hari, ibu dan bayinya tidak diperbolehkan keluar rumah dan bayi tidak diperboleh turun ke tanah. Jika harus keluar rumah, seorang ibu harus membawa kacip (alat yang dipergunakan untuk membelah sirih-pinang) atau pisau atau paku yang ujungnya disusuki bawang. Bayi yang ditinggal ibunya, di sampingnya harus ada peralatan yang berupa pisau, paku, atau sepotong besi yang berwujud apa saja. Hal itu dimaksudkan agar berbagai makhluk halus tidak mengganggunya.
Hari Jumat adalah hari pelaksanaan upacara. Menurut kepercayaan setempat, hari tersebut adalah hari yang dirahmati Tuhan. Waktu pelaksanaannya pada pagi hari dan siang (setelah salat Jumat) harinya dilanjutkan acara kenduri. Upacara yang biasanya dihadiri oleh kerabat dan tetangga ini, dipimpin oleh Mak Dukun/Bidan (yang dahulu membantu kelahiran) dan Pak Janta (suami Mak Dukun). Acara kenduri dilaksanakan di ruang tamu dan dipimpin oleh ulama setempat.
Hubungan antara ibu yang sedang hamil dan Mak Dukun terjadi tidak hanya pada saat kelahiran dan upacara basuh lantai saja. Ketika kandungan telah berumur tujuh bulan, suami dari perempuan yang hamil itu datang ke rumah dukun dengan membawa telur dan pulut (ketan). Maksudnya adalah agar dukun bersedia membantu isterinya dalam proses kelahiran. Pemberitahuan dan sekaligus permohonan ini disebut sebagai menepah. Syaratnya berupa telur dan pulut. Semenjak saat itu, suami dan isterinya yang sedang hamil setiap hari Jumat datang ke rumah dukun. Mereka membawa sebotol air dan tiga buah limau untuk dimanterai. Air dan buah yang telah dimanterai itu, lalu digunakan untuk mandi selama tiga hari berturut-turut.
Setelah semua peralatan yang diperlukan dalam upacara basuh lantai tersedia, peralatan tersebut dibawa ke tempat upacara (kamar). Ibu dan bayi yang akan diupacarai duduk di tempat tidur. Sementara, Mak Dukun dan Pak Jantan duduk di lantai. Upacara diawali dengan pembacaan Alquran (Surat AI-Fatihah) oleh Pak Jantan. Setelah itu, ia berdoa agar ibu dan bayi, beserta keluarganya terhindar dari segala gangguan atau rintangan dalam kehidupannya. Kemudian, Mak Dukun mencuci lantai dengan cara mengguyur dan menggosok lantai yang pernah digunakan untuk proses kelahiran.
Setelah lantai dianggap bersih, Mak Dukun (sembari membaca mantera) mengolesinya dengan pulut, serabi, jeruk nipis, dan asam. Kemudian, disiram dengan minyak langi. Lantai disiram lagi dengan air untuk membersihkan sisa-sisa pulut, serabi, dan bahan-bahan lain yang telah dioleskan. Setelah itu, lantai digoresi dengan sisir dan cermin.
Upacara diteruskan dengan pengguyuran (pemandian). Setelah acara mandi selesai, ibu kembali duduk di tempat tidur sambil menggendong bayinya. Mak Dukun mendekatkan seekor ayam ke bayi. Jika ayam mematuk beras yang ada di telapak tangan ibu, itu dianggap sebagai pertanda baik. Sebaliknya, jika ayam mematuk bayi, itu adalah pertanda buruk. Untuk itu, biasanya ibu menjulurkan tangannya ke arah ayam, sehingga bayi terhindar dari patukan ayam. Upacara dilanjutkan dengan acara lompat tiung (benang) yang bertempat di luar kamar dan pemutaran (pengelilingan) buah kelapa yang di atasnya terdapat lilin yang menyala.
Selanjutnya, pengolesan minyak langi pada ibu dan bayinya. Pengolesan ini dimaksudkan tidak hanya untuk membersihkan diri agar terhindar dari gangguan makhluk halus, tetapi juga sekaligus sebagai penolak bala. Setelah itu, dilakukan pemutusan kalung benang dengan api. Makna simbolis yang terkandung adalah agar bayi di kemudian hari dapat hidup dengan selamat (dapat melalui berbagai rintangan dalam hidupnya). Bekas sumbu lilin yang terbakar diremas dan dioleskan pada alis ibu dan bayinya. Maksudnya adalah agar ibu dan anak selalu diberi jalan terang, lurus, selalu berbuat baik, dan menjauhi perbuatan jahat.
Acara diteruskan dengan pengguntingan ujung rambut ibu dan anaknya serta merapikan dengan sisir. Makna simbolik yang terkandung di dalamnya adalah pembuangan hal-hal yang tidak baik pada diri ibu dan anaknya. Pemotongan ini juga sekaligus menandai, bahwa bayi sudah diperbolehkan untuk keluar rumah dan menginjak tanah. Langkah selanjutnya adalah penumpahan beras ke badan bayi, pengguncangan buah kelapa ke telinga kanan dan kiri bayi. Penumpahan beras dimaksudkan agar di kemudian hari banyak rezekinya. Pengguncangan buah kelapa dimaksudkan agar selalu ingat bahwa hidup ini akan terus berjalan (ibarat tunas kelapa yang tumbuh terus), sehingga harus selalu hati-hati dan waspada dalam hidupnya.
Siang harinya setelah salat Jumat, dilanjutkan dengan acara kenduri. Acara yang diikuti oleh kerabat dan tetangga dekat ini dipimpin oleh ulama setempat (lebai). Upacara kenduri ini merupakan ungkapan terima kasih atau rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah pembacaan doa yang dipimpin oleh lebai, maka kendurian diakhiri dengan makan bersama. Ketika para tamu sudah pulang, tuan rumah memberikan hantaran yang berupa makanan beserta lauk-pauknya kepada Mak Dukun. Selain itu, juga seekor ayam, kain, dan sejumlah uang sebagai ungkapan terima kasih.
C. Upacara Ratif Saman
Upacara Ratif Saman dilakukan pada malam Jumat, yaitu setelah sholat lsya’. Bagi yang tidak mengikuti upacara (perempuan dan anak-anak) akan pulang ke rumah masing-masing. Kemudian, menutup pintu, jendela, mematikan penerangan (lampu), dan tidak diperkenankan keluar rumah. Sebab jika berada di luar rumah ada kemungkinan tertabrak oleh makhluk halus yang lari ketakutan karena zikir yang diucapkan oleh para peserta upacara.
Waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu dan tidak boleh ke luar rumah, terutama bagi yang tidak mengikuti upacara ini, kurang lebih 30 menit. Setelah waktu imbauan itu habis, pemimpin upacara duduk di hadapan mimbar. Ini artinya para peserta diperbolehkan memasuki masjid (Masjid Al-Hidayah yang berada di Desa Resun) dengan membawa air. Air yang berada dalam berbagai Wadah itu diletakkan dekat dengan sebuah wadah yang terbuat dari logam. Wadah yang merupakan tempat pembakaran serpihan kayu cendana dan gaharu ini disebut ”setanggi". Wewangian yang dikeluarkan oleh kayu tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pengharum ruangan, tetapi juga sekaligus sebagai penarik malaikat dan makhluk halus yang baik (jin putih) untuk ikut serta dalam upacara.
Setelah perlengkapan upacara tersedia, para peserta yang berusia di atas 30 tahun akan duduk dan membentuk sebuah lingkaran (mulai dari kanan dan kiri pimpinan upacara). Peserta yang lebih muda usianya, duduk di belakang para orang tua tersebut. Setelah semua peserta duduk dengan sempurna (menyerupai posisi duduk dalam ”tahyatul akhir” yang dilakukan dalam salat), pemimpin upacara menjelaskan bahwa yang dilakukan tidak untuk memuja Syeh Saman. Akan tetapi, ditujukan kepada Allah agar meridhoi ratif dan menurunkan malaikat beserta jin putih (jin Muslim) untuk memerangi dan mengusir setan dari Desa Resun. Selain itu, pemimpin upacara juga menjelaskan tata cara melaksanakan Ratif Saman.
Pemimpin upacara memberi penjelasan tentang aturan mengucapkan zikir "Laillaha illallah“. Pemimpin upacara juga memberikan penjelasan mengenal aturan pembacaan ayat yang terkadang begitu panjang yang hanya dikuasai oleh pimpinan upacara dan para tetua kampung yang sudah biasa melakukannya. Setelah itu, barulah pemimpin upacara memulai jalannya Ratif Saman. Beberapa surat dalam Alqur'an pun dibaca, diteruskan dengan beberapa ratif (zikir) yang diikuti oleh seluruh peserta. Setelah upacara selesai, pemimpin upacara mempersilahkan setiap peserta mengambil air yang telah dibawanya.
Demikian pembahasan tentang "Upacara Adat Kepulauan Riau Lengkap Penjelasannya" yang dapat kami sajikan. Baca juga artikel kebudayaan Kepulauan Riau menarik lainnya di situs SeniBudayaku.com.
Baca juga:
Upacara Adat Riau Lengkap, Gambar dan Penjelasannya
Rambu Solo, Upacara Adat Toraja Lengkap Gambar dan Penjelasannya
Upacara Adat Aceh Lengkap Penjelasannya
Upacara Adat Riau Lengkap, Gambar dan Penjelasannya
Rambu Solo, Upacara Adat Toraja Lengkap Gambar dan Penjelasannya
Upacara Adat Aceh Lengkap Penjelasannya
Sumber : Selayang Pandang Kepulauan Riau : Ir. Nugroho Yuananto